Bima NTB - Turunnya harga jagung di musim panen tahun ini mengundang reaksi, khususnya di sentra produksi jagung di Pulau Sumbawa khususnya di Kabupaten Dompu, Kabupaten Bima dan Kota Bima.
Berbagai aksi unjuk rasa hingga pemblokiran jalan terjadi yang dilakukan oleh kelompok mahasiswa, maupun kelompok masyarakat dan LSM dengan mengatasnamakan petani jagung untuk menuntut pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat agar segera turun tangan mengatasi permasalahan ini.
Turunnya harga jagung tersebut di satu sisi memang menjadi keuntungan sendiri bagi pengusaha unggas karena bahan dasar pakan unggas adalah jagung. Namun, di sisi lain turunnya harga jagung tersebut menjadi kerugian bagi para petani jagung, karena tidak sebanding dengan modal yang telah mereka keluarkan.
Bagi para petani jagung, dengan turunnya harga jagung, mereka mengalami kerugian yang tidak sedikit. Mengingat Jagung-jagung yang ditanam di atas pegunungan akan membutuhkan biaya lebih/ekstra, mulai dari biaya pemupukan, biaya obat-obatan/insektisida, biaya panen hingga untuk biaya pengangkutannya sampai lokasi pengumpulan.
Baca juga:
Kisah Sukses Bertani Lidah Buaya
|
Belum lagi untuk pengolaan lahannya yang membutuhkan biaya pula. Sementara, saat ini kebanyakan para petani jagung terjebak dengan hutang sebagai modal awal, untuk biaya penanaman dan pembelian bibit jagung yang harganya juga mulai mahal.
Para petanipun banyak melakukan pinjaman/hutang ke para tengkulak, karena menurut para petani pinjaman di Bank melalui Program KUR jumlahnya sangat terbatas.
Apabila para petani sudah melakukan pinjaman ke para tengkulak sebagai modal awal penanaman jagung maka dia sudah terikat dengan sistem ijon yang terikat karena kedepannya hasil panen jagungnya tersebut harus dijual ke para tengkulak tersebut. Para petani menjual dengan harga pembelian di bawah Rp4.000, jauh di bawah HAP, sebesar Rp4.200 per kilogramnya. Inilah yang menjadi dasar persoalan dan menjadi polemik.
Baca juga:
Menggali Laba dari Bertani Pala
|
Dayat seorang petani jagung di Kabupaten Bima, mengatakan banyak para petani jagung yang terpaksa menjual hasil jagungnya dalam keadaan basah dengan kadar air 20-25 persen kepada pengepul/tengkulak dengan harga dibawah Rp 3000 per kilogramnya, Ia terpaksa memilih jalan cepat ini, karena tidak memiliki sarana pendukung/penunjang, Walaupun dengan harga segitu tidak akan bisa menutupi jumlah modal yang telah dikeluarkan.
“Saya terpaksa jual dengan harga dibawah Rp 3000/Kg tapi dengan kondisi jagung basah dengan kadar air 25-20 persen setelah panen. Kami terpaksa melakukannya karena kami tak punya tempat untuk mengeringkan jagung, ” ungkapnya.
Walaupun mengalami kerugian, dirinya bersyukur bisa panen dan membayar hutang, karena ada juga jagung yang diserang hama dan puso jadi gagal panen. Dikatakan bahwa harga jagung untuk tahun ini sangat jauh dari harapan mereka para petani jagung. Para petani jagung berharap, hasil panen jagung tetap dihargai Rp5.000 per kilogram walaupun dalam kondisi basah/tanpa melihat kadar airnya seperti yang terjadi pada tahun lalu, sehingga para petani jagung bisa mendapatkan/menikmati keuntungan saat panen.
Petani jagung juga mengharapkan agar Pemerintah bersama para stakeholder lainnya yang terkait agar mengerti kondisi mereka dilapangan saat ini dengan segala macam permasalahan yang dihadapinya. Sehingga Pemerintah dengan para stakeholder terkait tersebut dapat dengan segera menentukan kebijakan/rumusan pemecahan permasalahan rendahnya harga jagung tersebut.
Apabila permasalahan ini dapat dengan segera ditangani maka keamanan dan kondusifitas wilayah khususnya di Kab. Dompu, Kab. Bima dan Kota Bima yang diinginkan bersama dapat terwujud terlebih menjelang pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2024 ini. (Adb)